Smiling Depression

Sosok Joker adalah termasuk kedalam smiling depression

Apa itu Smiling depression?

Depresi biasanya dikaitkan dengan kesedihan, kelesuan, keputusasaan, bahkan membuat tidak memiliki tenaga untuk keluar dari kamar tidurnya. Smiling depression atau ‘depresi yang tersenyum’ adalah istilah untuk seseorang yang hidup dengan depresi dalam dirinya, dan tampak sangat bahagia atau puas di luar.

Hingga saat ini, smiling depression masih belum digolongkan sebagai salah satu gangguan mental, tetapi kondisi ini dapat disebut sebagai gangguan depresi mayor dengan fitur atipikal. Bahayanya? Tentu ada, Sebagai salah satu sub dari depresi, orang dengan smiling depression juga mengalami gejala yang serupa dengan gejala depresi pada umumnya, yaitu:

  • Perubahan nafsu makan, berat badan, dan tidur.
  • Kelelahan atau lesu.
  • Perasaan putus asa, kurangnya harga diri, dan harga diri rendah.
  • Kehilangan minat atau kesenangan dalam melakukan hal-hal yang dulu dinikmati.

Orang yang memiliki smiling depression akan mempunyai cukup banyak energi untuk tetap aktif di luar justru memiliki risiko bunuh diri yang lebih tinggi. Ya, orang dengan depresi berat kadang merasa ingin bunuh diri, tetapi banyak yang tidak punya energi untuk bertindak berdasarkan pemikiran ini. Namun, seseorang dengan smiling depression mungkin memiliki energi dan motivasi untuk menindaklanjutinya.

Hal-hal yang dapat menyebabkan Smiling depression

1. Perubahan besar dalam hidup

Seperti halnya jenis depresi lain, depresi tersenyum dapat dipicu oleh suatu situasi, seperti hubungan yang gagal atau kehilangan pekerjaan. Itu juga bisa dialami sebagai keadaan konstan.

2. Pergolakan batin

Dalam beberapa budaya atau keluarga, tingkat stigma yang lebih tinggi juga dapat berdampak. Misalnya, mengekspresikan emosi dapat dilihat sebagai “meminta perhatian” atau menunjukkan kelemahan atau kemalasan.

Seseorang yang merasa mereka akan diadili karena gejala depresi mereka akan lebih mungkin untuk mengenakan topeng, dan menyimpan kesedihannya untuk diri mereka sendiri. Kondisi ini juga dapat lebih rentan terjadi pada pria yang terkungkung pada prinsip maskulinitas, bahwa pria selayaknya harus kuat, bahkan tidak boleh menangis.